Bullying di sekolah merupakan fenomena yang kompleks dan memiliki dampak signifikan pada perkembangan psikologis, sosial dan akademik siswa. Tindakan bullying dapat berupa kekerasan fisik, verbal atau psikologis yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok siswa terhadap siswa lainnya dengan tujuan merendahkan, menghina, atau mempermalukan korban. Fenomena ini tidak hanya mempengaruhi korban secara langsung, tetapi juga menciptakan lingkungan belajar yang tidak kondusif dan merusak tatanan sosial di sekolah. Dalam konteks pendidikan, bullying dapat dilihat sebagai manifestasi ketidakadilan sosial dan ketimpangan kekuasaan yang sejatinya relevan dengan konsep “pendidikan kaum tertindas” yang dikemukakan oleh Paulo Freire.
Freire dalam karyanya terutama dalam buku Pedagogy of the Oppressed menjelaskan bahwa dalam sistem pendidikan tradisional, sering terjadi relasi kuasa yang tidak seimbang antara pihak yang dominan (penindas) dan pihak yang terpinggirkan (tertindas). Proses pendidikan sering kali memperkuat struktur sosial yang tidak adil, di mana mereka yang memiliki kekuatan mendominasi mereka yang lebih lemah. Dalam kasus bullying, pelaku bullying (penindas) memanfaatkan kekuatannya untuk menindas korban yang lebih lemah (tertindas).
Freire menekankan pentingnya “pendidikan dialogis” yang melibatkan kesadaran kritis dan kolaborasi antara guru dan siswa untuk menciptakan pembebasan dan kesetaraan. Dalam konteks bullying, pendekatan ini sangat relevan. Salah satu solusi untuk mengatasi bullying adalah menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan adil, di mana setiap siswa dihargai sebagai individu yang memiliki hak untuk berpartisipasi dan menyuarakan pendapatnya.
Pendidikan yang memerdekakan seperti yang dianjurkan Freire, menuntut adanya kesadaran kritis dari semua pihak guru, siswa dan warga sekolah untuk memahami dan mengidentifikasi akar penyebab bullying sebagai bentuk ketidakadilan sosial. Dengan demikian, bukan hanya fokus pada menghukum pelaku atau melindungi korban, tetapi juga mengubah struktur sosial dan budaya di sekolah yang memungkinkan bullying terjadi. Melalui pendidikan kritis, siswa diajak untuk mengembangkan empati, saling menghargai, dan memiliki tanggung jawab sosial terhadap teman-temannya.
Fenomena bullying di sekolah, jika dianalisis melalui lensa teori pendidikan kaum tertindas Paulo Freire menunjukkan bahwa tindakan bullying adalah hasil dari ketimpangan kekuasaan dan dehumanisasi. Pendidikan yang bersifat pembebasan seperti yang diusulkan Freire dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah ini dengan menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, adil dan berbasis dialog. Dengan meningkatkan kesadaran kritis dan empati di antara siswa serta memfasilitasi partisipasi aktif mereka dalam proses pendidikan, sekolah dapat menjadi tempat di mana bullying tidak lagi diterima sebagai bagian dari dinamika sosial. Melalui pendidikan yang memanusiakan, kita dapat membangun generasi yang lebih sadar, peduli, dan bertanggung jawab terhadap sesamanya.