Menyuarakan Suara Perempuan: Mengapa Pernikahan Dini Masih Terjadi?

Pernikahan dini sebagai salah satu masalah sosial yang terus membayangi kehidupan perempuan di Indonesia. United Nations Children’s Fund (UNICEF) mendefinisikan pernikahan anak sebagai pernikahan formal atau informal yang dilakukan oleh salah satu atau kedua pihak yang berusia di bawah 18 tahun. Pernikahan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak. Meskipun sudah ada upaya pemerintah dan berbagai lembaga sosial untuk mengatasi permasalahan ini, pernikahan dini masih sering terjadi terutama di daerah-daerah pedesaan dan terpencil. Berdasarkan data dari UNICEF pada tahun 2022, Indonesia menempati peringkat kedelapan di dunia dan tertinggi kedua di Asia Tenggara dalam hal persentase perkawinan usia anak di bawah usia 18 tahun dan ke 2 di ASEAN dengan total hampir 1,5 juta kasus (kumparan.com). Mengapa fenomena ini masih terjadi di Indonesia, meski kesetaraan gender dan pemerataan akses pendidikan selalu digaungkan?

Salah satu penyebab utama pernikahan dini di Indonesia adalah kondisi ekonomi yang sulit. Banyak keluarga yang hidup dalam kemiskinan dan menganggap menikahkan anak perempuan mereka lebih awal sebagai solusi untuk meringankan beban finansial. Dalam pandangan mereka, anak perempuan yang menikah dapat meringankan tanggung jawab ekonomi keluarga. Selain itu, di beberapa daerah praktik pernikahan dini juga dihubungkan dengan mahar. Dalam masyarakat yang masih terjebak dalam kemiskinan atau keluarga menengah ke bawah, mahar sering kali dianggap sebagai sumber pendapatan tambahan. Para orang tua terutama di pedesaan, mungkin melihat pernikahan dini sebagai kesempatan untuk mendapatkan mahar yang bisa membantu kondisi finansial mereka. Dengan begitu, anak perempuan yang menikah di usia muda bisa dianggap sebagai “solusi” bagi masalah ekonomi keluarga. Di beberapa daerah, mahar dapat berupa uang tunai, tanah, atau barang berharga lainnya yang dianggap dapat meringankan beban keuangan keluarga. Sehingga membuat para orang tua terdorong untuk menikahkan anak mereka secepat mungkin agar mendapatkan mahar tersebut. Akibatnya, kepentingan ekonomi mengalahkan hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan dan masa kecil yang layak.

Kemiskinan juga berdampak pada akses terhadap pendidikan. Anak-anak perempuan yang putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sering kali dilihat sebagai “siap” untuk menikah karena dianggap tidak ada lagi pilihan lain untuk masa depan mereka. Tanpa pendidikan yang memadai, anak-anak perempuan ini juga lebih rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan di masa depan dan masalah kesehatan reproduksi. Mereka sering kali tidak siap secara fisik dan mental untuk menjalani kehidupan pernikahan dan menjadi ibu pada usia yang terlalu muda. Selain itu, usia ideal untuk hamil bagi perempuan adalah sekitar usia 20–35 tahun. Pada usia ini, organ reproduksi calon ibu sudah terbentuk sempurna dan tingkat kesuburan sedang sangat tinggi (alodokter.com). Pernikahan dini dapat menyebabkan tingginya tingkat kematian ibu hamil karena organ reproduksi yang belum terbentuk dengan sempurna.

Budaya dan tradisi lokal  yang berkembang dikalangan masyarakat juga membawa peran yang sangat signifikan dalam melanggengkan praktik pernikahan dini. Pada tahun 2023, sebanyak 217 pernikahan dini terjadi di Sulawesi Tenggara yang menunjukkan angka yang sangat tinggi. Ratusan anak tersebut bisa menikah setelah permohonan dispensasi pernikahannya dikabulkan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Kendari (sultra24jam). Meskipun Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 telah menaikkan batas minimum usia pernikahan bagi perempuan dan pria dari 16 menjadi 19 tahun, namun pada implementasinya masih menghadapi banyak tantangan. Di banyak daerah, masyarakat cenderung mengabaikan hukum ini terutama di wilayah-wilayah yang masih memegang teguh tradisi pernikahan dini. Selain itu, masih banyak dispensasi yang diberikan oleh pihak berwenang untuk memungkinkan pernikahan di bawah umur yang seharusnya hanya diberikan dalam kondisi tertentu. Keluarga sering kali memanfaatkan celah hukum seperti pengajuan dispensasi atau pengabaian aturan usia menikah dengan alasan keadaan darurat atau desakan sosial.

Pernikahan dini masih dianggap sebagai hal yang normal dan diterima, bahkan didorong oleh masyarakat. Dengan keyakinan bahwa menikahkan anak perempuan lebih awal dapat melindungi mereka dari pergaulan bebas dan menjaga kehormatan keluarga. Tekanan sosial ini membuat banyak keluarga merasa bahwa pernikahan dini adalah langkah yang tepat untuk menghindari stigma sosial. Pengawasan terhadap pernikahan dini di Indonesia sering kali lemah dan banyak pernikahan dilakukan secara adat atau agama tanpa melibatkan catatan sipil resmi. Hal ini mengakibatkan pernikahan dini sulit untuk dideteksi dan ditangani secara hukum. Pernikahan dini sebagai cerminan ketidaksetaraan gender yang semakin meluas di masyarakat. Dalam budaya masyarakat patriarki yang masih tumbuh subur, anak perempuan sering kali tidak dianggap memiliki hak yang sama untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Hak-hak mereka untuk mengenyam pendidikan, bekerja, atau memilih pasangan hidup sering kali diabaikan demi kepentingan keluarga atau tuntutan sosial. Lalu, bagaimana peran Komnas Perempuan dalam menyuarakan hak perempuan dan memberantas pernikahan dini?

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memiliki peran vital dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di Indonesia, salah satunya dalam mengatasi isu pernikahan dini. Sebagai lembaga negara yang telah berdiri selama 26 tahun dan dibentuk untuk melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, Komnas Perempuan tidak hanya berfokus pada pelaporan kasus kekerasan, tetapi juga bertindak sebagai advokat untuk perubahan sosial. Berdasarkan Siaran Pers Komnas Perempuan di Jakarta pada tanggal tentang “Perkawinan Anak Merupakan Praktik Berbahaya (Harmful Practice) yang Menghambat Indonesia Emas 2045” mengingatkan bahwa salah satu mandat negara, pihak yang meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) adalah penghapusan praktik-praktik berbahaya (harmful practices) bagi perempuan dan anak perempuan. Perkawinan anak (child marriage), pemaksaan perkawinan (forced marriage), pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (female genital mutilation), kekerasan mas kawin (dowry violence) dan kekerasan atas nama kehormatan (honour killing) adalah contoh praktik-praktik berbahaya Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk penghapusan perkawinan anak pada 2030 sebagai bagian dari pencapaian SDGs. Penghapusan perkawinan anak akan berkontribusi terhadap pencapaian visi Indonesia Emas 2045 untuk berdaulat, maju, adil dan makmur (komnasperumpuan.go.id).

Komnas Perempuan sangat aktif dalam mengadvokasi perubahan kebijakan yang bertujuan melindungi anak perempuan dari praktik pernikahan dini. Salah satu pencapaian besar adalah keberhasilan dalam mendorong revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yang menaikkan batas minimal usia pernikahan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Revisi ini adalah langkah signifikan dalam memberikan perlindungan hukum kepada anak perempuan agar mereka tidak dipaksa menikah di usia terlalu muda yang dapat merusak masa depan mereka secara pendidikan, kesehatan, dan sosial. Komnas Perempuan menyadari bahwa perubahan hukum saja tidak cukup untuk mengatasi pernikahan dini. Sehingga secara konsisten melaksanakan kampanye kesadaran publik untuk mendidik masyarakat tentang risiko dan dampak negatif pernikahan dini, terutama bagi anak perempuan. Kampanye ini mencakup kolaborasi dengan media, LSM yang bertujuan untuk mengedukasi dan mengubah norma-norma sosial yang masih mendukung pernikahan dini. Komnas Perempuan berupaya mempromosikan kesadaran bahwa anak perempuan memiliki hak atas pendidikan, kesehatan, dan kesempatan untuk mengembangkan potensi diri mereka. Selain itu, Komnas Perempuan juga menyediakan layanan dukungan bagi perempuan dan anak perempuan yang terjebak dalam situasi kekerasan. Layanan ini meliputi konseling, pendampingan hukum, dan pendampingan psikososial bagi korban pernikahan dini untuk membantu mereka mendapatkan akses ke keadilan dan pemulihan.

About goeducare

Check Also

Alternate Universe: Membayangkan Realitas Lain di Dunia yang Berbeda

Pernahkah Anda membayangkan bagaimana hidup Anda jika memilih jalur karier yang berbeda? Atau bagaimana jika …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *