Ya, pelaku kekerasan seksual yang berasal dari kaum disabilitas tetap dapat dikenakan ancaman pidana penjara sesuai hukum yang berlaku dengan mempertimbangkan beberapa aspek. Dalam sistem hukum Indonesia, perlakuan terhadap pelaku kekerasan seksual akan tetap mengacu pada ketentuan undang-undang misalnya UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) serta pasal-pasal dalam KUHP yang relevan. Namun, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
1. Aspek Pertanggungjawaban Pidana
Salah satu prinsip dalam hukum pidana adalah bahwa pelaku harus mampu memahami perbuatannya dan konsekuensinya. Jika pelaku memiliki disabilitas yang memengaruhi kemampuannya memahami atau mengendalikan tindakannya (seperti disabilitas intelektual atau mental), maka hakim akan mempertimbangkan faktor tersebut dalam menentukan tingkat pertanggungjawaban. Hal tersebut biasanya dilakukan dengan pemeriksaan psikologis atau psikiatris terhadap pelaku.
2. Tidak Ada Kekebalan Hukum untuk Disabilitas
Status disabilitas tidak memberikan kekebalan hukum kepada pelaku. Jika pelaku terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, dia tetap akan menghadapi konsekuensi hukum. Namun, dalam kasus pelaku disabilitas, sering kali pengadilan dapat mempertimbangkan hukuman alternatif seperti rehabilitasi atau pengobatan jika diperlukan terutama jika disabilitasnya berhubungan dengan perilaku kriminal tersebut.
3. Pentingnya Perlakuan yang Adil
Dalam setiap kasus, sistem hukum harus memastikan bahwa proses peradilan berjalan secara adil dan tidak diskriminatif, baik terhadap korban maupun pelaku. Pelaku disabilitas juga memiliki hak untuk mendapatkan bantuan yang sesuai selama proses hukum seperti pendampingan khusus, penerjemah, atau aksesibilitas yang memadai.
4. Hak Korban Tetap Prioritas
Dalam kasus kekerasan seksual, perlindungan hak korban adalah prioritas utama. Oleh karena itu, proses hukum akan difokuskan pada keadilan untuk korban termasuk memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku tanpa mengesampingkan hak-hak disabilitasnya.
Jika ada situasi konkret yang melibatkan pelaku dengan disabilitas, pengadilan akan menyesuaikan keputusan dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti tingkat disabilitas, kondisi pelaku, dan dampak terhadap korban.